Ragam

Uung Sendana L Linggaraja : Agama dalam Realitas Pergulatan Sosial Perspektif Khonghucu

BANDUNG.SJN COM.-.-Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Negara
Di Indonesia tidak berlaku agama Negara. Negara mengayomi dan menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya sendiri. Intervensi Negara terhadap kebebasan beragama sesungguhnya telah melanggar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan komitmen para founding fathers Indonesia karena kesadaran akan kemajemukan dalam kesatuan, kesatuan dalam kemajemukan, Bhinneka Tunggal Ika.
Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau pemberian golongan tertentu.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap pen-duduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E, Pasal 28i dan 29 ayat (1) dan (2) menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk agama yang diyakini, tanpa paksaan dan intervensi Negara, atau kekuasaan apapun.
Kebebasan beragama kemudian diatur dalam Pasal 22 UU dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999, serta pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 Ayat (1) dan (2).
Kendati kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi Negara, tetapi kebebasan mengekspresikan agama dibatasi oleh hak-hak orang lain. Kebebasan beragama harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga tidak mengancam atau melanggar kebebasan beragama orang lain. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan beragama dapat mendukung terciptanya kerukunan umat beragama, bukan malah sebaliknya.
Pasal 1 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan,
“Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjur- kan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”
Seperti kita ketahui penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang No 1 PNPS 1965 antara lain berbunyi”… Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Jahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini, atau perundangan ini.
Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan ke arah ke Tuhanan Yang Maha Esa…”
Terlepas dari kekurangan atau perlu adanya revisi, UU No 1 PNPS 1965 tentang “Pencegahan Penyalah-Gunaan dan/atau Penodaan Agama” telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi R.I dengan Keputusan No 140/PUU-VIII/2009 tanggal 19 April 2010 sebagai tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; karena tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan orang untuk beragama atau memilah-milah agama menjadi ‘agama yang diakui’ atau ‘tidak diakui’ oleh Negara apalagi menjadikan ‘agama resmi’ dan agama ‘tidak resmi’. Semua agama apakah ba-nyak ataupun sedikit penganutnya di Indonesia, diberi jaminan perlindungan dan ban-tuan Negara sesuai pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang ini sejalan dengan pasal 28J Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan ke-bebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta peng-hormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Sejalan pula dengan pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia diratifikasi menjadi UU No.12 Tahun 2005 ayat (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 Tanggal 21 Maret 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, yang menegaskan, “Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Agama dalam Realitas Pergulatan Sosial
Dengan melihat telah begitu lengkapnya perlindungan terhadap kebebasan ber-agama beserta aturan-aturan yang membatasi, dengan ketaatan pada hukum dan konsti- tusi Negara seharusnya dapat mencegah bangsa Indonesia dari pertikaian atau kerusuhan bernuansa agama. Namun kenyataannya, hingga saat ini kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat tampil dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan, dan perusakan terhadap milik pribadi, milik Negara bahkan terhadap simbol-simbol keagamaan.
Kita meragukan untuk menyatakan bahwa kerusuhan dan perusakan yang terjadi merupakan konflik agama semata. Namun, walaupun faktor-faktor lain yang berperan sebagai sumber penyebab kerusuhan dan perusakan sukar dibantah, karena adanya peru-sakan sejumlah rumah ibadat yang dianggap sakral dan merupakan simbol kehadiran sebuah agama, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kerusuhan itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama.
Kami sengaja menuliskan agama dan pluralitas (yang banyak dan berbeda-beda) ditinjau dari konstitusi negara dan di bagian belakang juga dari ‘kacamata’ kitab suci agama Ru-Khonghucu. Mengapa? Alasannya sederhana, kita seringkali ‘tidak memahami dengan benar’, ‘tidak mau memahami’, ‘pura-pura tidak memahami’, bahkan ‘memaksakan pemahaman’. Perlu tekad yang kuat dan upaya yang sungguh-sungguh untuk terus menerus dan berulang-ulang ‘mensosialisasikan’ agar bangsa dan umat benar-benar ‘memahami’.
Dengan pemahaman yang tepat dan ’sama’ kita akan lebih mudah untuk berdialog, bersilaturahmi, mengikat persaudaraan, walaupun itu bukan berarti dengan pemahaman yang berbeda dan ‘tidak’ tepat sama kita tidak dapat berdialog, bersilaturahmi, mengikat persaudaraan.
Dengan menuliskan Kebebasan beragama dalam Konstitusi Negara, perlu kita tegaskan bersama (sekali lagi dan lagi) bahwa sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, di negara kita tidak dikenal agama yang diakui dan tidak diakui serta agama resmi dan tidak resmi, sehingga di negara yang kita cintai bersama ini tidak layak ada suatu agama yang dimarginalisasi atau termaginalisasi dengan stigma-sitigma tertentu. Dalam konteks ini, penulis ingin mengajak pada para peserta seminar untuk sekali lagi (dan lagi) merenungkan dan memikirkan secara seksama, apakah pemahaman kita sama (atau berbeda?). Apakah pemahaman kita yang ‘sama’ (atau berbeda) itu dimaknai dengan kemauan moral dan tindakan nyata?
Dengan Konstitusi Negara yang tidak berbeda, dengan Falsafah Negara yang tetap sama, kenyataan yang ada memperlihatkan kepada kita, masih banyak persoalan dalam bangsa ini. Seperti kita ketahui bersama, hak-hak sipil umat Khonghucu (dan umat agama ‘kecil’ lainnya) selama puluhan tahun telah termaginalkan. Hanya saja setelah berjuang dengan keringat dan air mata, umat Ru-Khonghucu telah mulai merasakan kebebasan. Namun demikian, sesungguhnya persoalan bangsa kita belumlah terselesaikan. Tetaplah ada persoalan dalam cara pandang dan pendekatan ‘pejabat negara’ dalam praktek perlindungan atas hak-hak sipil umat beragama. Ada juga persoalan dalam cara pandang dan pendekatan ‘tokoh dan umat beragama’ dalam praktek kehidupan beragama.
Kami tidak sependapat dengan pandangan yang menempatkan agama tertentu sebagai tirani bagi agama lainnya, karena sesungguhnya mayoritarianisme tiranik yang ada di negara kita bukanlah praktek yang hanya dilakukan oleh salah satu agama, tetapi cara pandang dan praktek yang dilakukan oleh hampir semua agama yang merasa lebih banyak penganutnya (mayoritas?) terhadap agama yang lebih sedikit penganutnya (minoritas?). Kita tidak dapat menutup mata mengenai kenyataan ini.
Bagi umat Khonghucu (sangat mungkin agama ‘kecil’ lainnya) mayoritarianisme tiranik dirasakan bukan hanya dalam praktek pelaksanaan hak-hak sipil semata, tetapi dirasakan dalam aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan dan kemasyarakatan. Dalam pendidikan bagi anak-anaknya, umat Ru-Khonghucu menghadapi pilihan yang berat dan dilematis, apakah harus bersekolah di sekolah berbasis agama tertentu, yang berarti harus mengikuti pelajaran agama yang bukan agama yang diimaninya (padahal jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional), dan dalam banyak kasus dipaksa untuk mengikuti ibadah agama yang bukan agama yang diyakini dengan berbagai alasan dan ‘ancaman’ baik halus maupun ‘kasar’ ataukah harus bersekolah di sekolah negeri yang juga didominasi oleh agama tertentu pula dan tidak memberi banyak pilihan kepada anak didik yang beragama Ru-Khonghucu ataukah harus bersekolah di sekolah swasta yang lagi-lagi menempatkan pada realitas yang sama.
Dalam hidup kemasyarakatan, bukan hal yang aneh pula umat Ru-Khonghucu ditempatkan pada posisi inferior, terhina dan dipaksa oleh saudara-saudaranya sendiri yang telah berpindah agama atau beragama yang berbeda. Bukan hal yang aneh, umat Ru-Khonghucu didatangi dari pintu ke pintu, baik secara fisik, maupun dengan media-media ‘promosi’ seperti selebaran, sms, email, telepon, dan sebagainya, kendati dengan nyata telah menyatakan dirinya sebagai umat Ru-Khonghucu.
Dalam beribadat, umat Ru-Khonghucu juga menghadapi kenyataan rumah ibadatnya telah banyak yang dialihkan menjadi rumah ibadat agama lain sebagai akibat kebijakan masa lalu yang memaksakan itu terjadi. Kasus seperti ini hampir merata diseluruh Indonesia. Kasus terbaru sekarang ini adalah kasus Samarinda yang menjadikan umat Ru-Khonghucu tidak dapat menjalankan ibadatnya, dan harus beribadat di jalanan, padahal rumah ibadat tersebut dulunya jelas-jelas rumah ibadat agama Ru-Khonghucu.
Di Pekalongan juga terjadi kasus yang hampir mirip, umat Ru-Khonghucu diusir dari rumah ibadatnya sendiri dan sekarang harus menjadi pihak tergugat di Pengadilan Negeri Pekalongan. Ini melengkapi kasus-kasus sejenis yang terjadi hampir di seluruh Indonesia selama puluhan tahun. Belum lagi issue-issue yang dengan sengaja disebarkan oleh pihak tertentu baik melalui selebaran, email, web dan sebagainya yang seolah-olah organisasi Khonghucu ingin mencaplok rumah ibadat tertentu.
Ini menunjukkan mayoritarianisme tiranik bukanlah milik salah satu (organisasi) agama, tetapi telah merasuki hampir semua (organisasi) agama.
Hal-hal di atas melengkapi banyaknya persoalan yang dihadapi oleh umat Ru-Khonghucu dalam memperjuangkan hak-hak sipilnya yang masih berlangsung hingga sekarang ini. Kasus ‘larangan’ pendirian rumah ibadat juga terjadi pada umat Ru-Khonghucu namun akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Kasus ‘larangan’ di kota Depok ini, setelah ditelusuri penyebab utamanya adalah masalah pribadi dan akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Hal yang sama juga terjadi di Sidamukti-Cimanggis terhadap rumah ibadat umat Ru_Khonghucu yang telah lama ada, setelah ditelusuri pokok persoalannya, akhirnya dapat diselesaikan pula.
Dalam penegakan hak-hak sipil yang lain seperti pembuatan KTP, di beberapa daerah masih timbul persoalan karena perilaku oknum pejabat tertentu dengan berbagai alasan, seperti dalam formulir isian kependudukan belum mencantumkan agama Ru-Khonghucu, harus ada surat keterangan majelis sampai motif uang.
Persoalan yang hampir mirip tetapi tidak berkaitan dengan aparat pemerintah juga masih terjadi, misalnya dalam formulir isian untuk masuk Sekolah atau Perguruan Tinggi, murid dan mahasiswa penganut agama Ru-Khonghucu tidak dapat mencantum-kan agama yang diyakini karena tidak ada kolom pilihan agama Khonghucu.
Untuk mendapat pendidikan agama Ru-Khonghucu di sekolah dan di kampus, siswa dan mahasiswa serta Makin/Matakin harus terus berjuang dengan berbagai cara dan tidak mendapatkannya dengan mudah.
Ada persoalan besar pada bangsa kita, bukan semata-mata persoalan yang ditimbulkan oleh salah satu kelompok agama, tetapi merata hampir pada seluruh kelompok agama. Kasus perusakan, pembakaran, penyegelan, pembatalan IMB, pelarangan pendirian rumah ibadat hanyalah suatu gejala yang timbul dari persoalan besar bangsa kita, hanya sebagai ’the tip of the iceberg’ (puncak dari gunung es).
Menurut hemat kami, persoalan ini perlu diselesaikan bersama, tidak bisa hanya menimpakan kesalahan kepada lembaga eksekutif semata. Dalam negara yang menganut Trias Politica, dalam lembaga ekseskutif, legislatif dan yudikatif, perlu ada revolusi pembenahan, revolusi pendekatan, revolusi cara pandang, revolusi tindakan sehingga dapat menyentuh akar permasalahan bangsa kita.
Pancasila sebagai falsafah negara, nafas kehidupan bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan yang sangat serius dan mendesak. Tanpa kemauan yang kuat dari bangsa ini untuk melakukan revolusi pembenahan, revolusi pendekatan, revolusi cara pandang, revolusi tindakan, Pancasila hanya akan menjadi nama tanpa makna dan negara Indonesia hanya akan menunggu waktu untuk menjadi tinggal nama, tercerai berai.

Kebajikan Sebagai Dasar Ketaatan dan Penegakan Hukum
Sebaik apapun Undang-undang yang dibuat, tetap diperlukan peran nyata dari masyarakat, penegak hukum dan penguasa untuk mengimplementasikan nilai-nilai keba-jikan, karena tanpa itu hukum yang berlaku menjadi hukum yang tidak memiliki keadilan dan kebenaran dan rasa keadilan masyarakat tidak terpenuhi.
Bisa saja banyak perundang-undangan dan hukum dibuat, perangkat hukum diciptakan, alat-alat pendukung disediakan, gaji pejabat dan hakim dinaikkan, segala sesuatu diatur dengan hukum, tetapi semua itu menjadi tidak berfaedah bila tidak dikembalikan kepada hakekat hukum itu dibuat dan tidak ditunjang oleh para pelaku dalam aksi nyata berlandaskan kebajikan.
Dalam kaca mata pakar hukum, undang-undang yang dibuat sebetulnya tidak buruk, bahkan sudah sangat baik, tetapi mengapa keadilan dirasakan oleh masyarakat semakin jauh? Mengapa keadilan belum dapat ditegakkan? Dan mengapa ketaatan pada hukum semakin pudar?
Dalam setiap persoalan yang timbul, hampir selalu peraturan perundangan yang disalahkan dan dituntut untuk direvisi. Benarkah itu pokok persoalannya?
Dengan kejernihan hati dan pikiran, kita dapat menjawab: Bukan, persoalannya bukan semata-mata pada hukum atau peraturan yang ada di Negara kita.
Para koruptor, bandar narkoba, mafia peradilan, penyuap, para penjahat semakin banyak yang dibawa ke pengadilan, baik pengadilan umum maupun pengadilan khusus dan dijatuhi hukuman. Dengan kasat mata kita menyaksikan para musuh masyarakat ini hanya dalam tempo singkat menghirup kebebasan kembali. Dilain pihak, para ‘pencuri’ kecil yang mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk menuntut haknya, menjalani hukuman dengan jangka waktu yang yang hampir sama.
Peraturan mengenai rumah ibadat juga telah berhasil dibuat atas kesepakatan majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan telah dilengkapi dengan penjabarannya dalam bentuk tanya jawab, tetapi masalah pendirian rumah ibadat marak terjadi. Bila ditelusuri lebih dalam ternyata masalahnya adalah kurangnya ketaatan dan penegakan hukum. Dalam satu kasus segala persyaratan telah dipenuhi, di lain pihak ada keengganan untuk memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Disatu pihak aparat pemerintah dan aparat hukum kurang tegas menerapkan hukum, dilain pihak, komunitas agama enggan memenuhi ketentuan atau data-data yang disajikan tidak benar.
Undang-undang lalu lintas baru saja mengalami perubahan dan diberlakukan dengan sanksi yang lebih besar, tetapi pelanggaran lalu lintas kerap terjadi, jalur-jalur khusus diterabas, tanda larangan lalu lintas kerap jadi pajangan, kesemrawutan tetap marak. Mengapa?
Persoalan utama di Negara kita adalah penegakan hukum yang mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat.
Hukum yang sebaik apapun, tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan semua pihak untuk mentaati dan menegakkannya. Hukum yang baik dan adil perlu ditunjang oleh aparat yang baik, berani, jujur dan membela kebenaran dan keadilan. Nabi Kongzi menyarankan agar seorang pemimpin yang ingin dituruti oleh rakyatnya, perlu meng-angkat orang-orang yang jujur dan menyingkirkan orang yang curang. (Lun Yu II:19)
Untuk mendapatkan aparat yang berani, jujur serta membela kebenaran dan keadilan perlu adanya landasan yang benar.
Dalam hal ini agama Ru-Khonghucu menempatkan moral di atas hukum. Artinya hukum haruslah berdasarkan moralitas. Hukum harus dibentuk dan dilaksanakan dengan berlandaskan kebajikan. Nabi Kongzi bersabda, “Dibimbing dengan Undang-undang, dilengkapi dengan hukuman, menjadikan rakyat hanya berusaha menghindari itu dan kehilangan perasaan harga diri. Dibimbing dengan Kebajikan dan dilengkapi dengan Li (kesusilaan, standar dan nilai-nilai moral, tata susila, upacara, ibadah, ritual), menjadikan rakyat tumbuh perasaan harga diri dan berusaha hidup benar.” (Lun Yu II: 3)
Bukan berarti Undang-undang dan hukum tidak penting, tetapi Nabi Kongzi menekankan pentingnya bimbingan Kebajikan dan Li agar orang mentaati hukum atas dasar tumbuhnya harga diri dan keinginan untuk hidup benar. Hukum akan menjadi efektif bila dalam diri penguasa, penegak hukum dan seluruh masyarakat tumbuh kebajikan dan Li. Bila semata-mata menerapkan Undang-undang dan Hukum tanpa upaya membimbing dengan kebajikan dan dilengkapi dengan pendidikan Li, maka undang-undang dan hukum tersebut menjadi kurang efektif karena penegak hukum, penguasa dan rakyat semata-mata mentaati hukum untuk menghindari hukuman, bukan atas dasar kesadaran, menghargai dan hormat akan hukum.
Dalam ajaran agama Ru-Khonghucu, seseorang perlu dididik dengan ajaran agama untuk menjadi seorang manusia yang taat akan hukum karena kesadarannya dan bukan semata-mata karena rasa takut akan hukuman. “Seorang Junzi senantiasa ingat akan Kebajikan, sedangkan seorang rendah budi hanya ingat akan kenikmatan. Ketika seorang Junzi menghargai dan hormat akan hukum, seorang rendah budi mengharapkan belas kasihan orang.” (Lun Yu IV: 11)
Perhatikan ‘seorang Junzi menghargai dan hormat akan hukum’ dan bukan sekedar rasa takut akan hukum. Sebaliknya seorang rendah budi mengharapkan belas kasihan orang karena seorang rendah budi cenderung tidak taat pada hukum, dan melanggar hukum. Setelah melanggar hukum dia mencari-cari alasan dan mengharapkan belas kasihan orang lain.
Kesadaran seperti itulah yang menjadi tujuan pendidikan agama Ru-Khonghucu.
Dalam pola seperti inilah agama Ru-Khonghucu mengajarkan manusia. Untuk mewujudkan hal ini dalam masyarakat, diperlukan keteladanan pemimpin dan penegak hukum. Dan untuk alasan keteladanan pemimpin ini pulalah Nabi Kongzi mengembara selama 13 tahun dari negeri ke negeri untuk menyebarkan Jalan Sucinya. Bagi Nabi Kongzi, untuk merubah suatu masyarakat dengan efektif, harus dimulai dari para pemimpinnya terlebih dahulu. “Kemana angin berhembus, ke situlah rumput merunduk’.
Ji Kang Zi merasa susah karena banyak pencuri di daerahnya, lalu bertanya kepada Nabi Kongzi. Nabi Kongzi bersabda, “Bila kamu tidak tamak akan harta benda, sekalipun diberi upah tidak akan ada orang yang mau mencuri!” (LunYu XII: 18)
Nabi bersabda, “Bila yang berkedudukan tinggi menyukai Li, niscaya mudah menyuruh rakyat mengikutinya.” (Lun Yu XIV: 41)
“Kalau seorang atasan dapat menyukai Li, niscaya rakyat tiada yang berani tidak hormat; kalau seorang atasan menyukai kebenaran, niscaya rakyat tiada yang berani tidak patuh; kalau seorang atasan menyukai sikap dapat dipercaya, niscaya rakyat tiada yang berani tidak menggunakan perasaan. Bila dapat berbuat demikian, dari ke empat penjuru rakyat dengan mendukung anak-anaknya akan datang kepadanya…” (Lun Yu XIII: 5)
Nabi bersabda, “Bila diri telah lurus, dengan tanpa memerintah semuanya akan berjalan beres. Bila diri tidak lurus, sekalipun memerintah tidak akan diturut.” (Lun Yu XIII: 6)
Nabi bersabda, “Kalau seseorang dapat meluruskan diri, apa sukarnya mengurus pemerintahan? Kalau tidak dapat meluruskan diri, bagaimanakah mungkin meluruskan orang lain?” (Lun Yu XIII: 13)
Nabi bersabda, “Bila orang-orang baik dapat berturut-turut seratus tahun me-merintah Negara, niscaya dapat mengubah yang jahat menjadi baik, sehingga tidak perlu adanya hukuman mati dan lain-lain. Sungguh benar peribahasa ini.” (Lun Yu XIII: 11)
Pada suatu ketika Zi Lu bertanya kepada Nabi Kongzi, “Kalau Pangeran Wee mengangkat Guru dalam pemerintahannya, apakah yang akan Guru lakukan lebih dahulu?
Nabi bersabda, “ Akan kubenarkan lebih dahulu nama-nama.”
Zi Lu berkata, “Mengapakah demikian? Jawaban Guru jauh dari persoalannya. Mengapakah perlu lebih dahulu membenarkan nama-nama?”
“Oh, Yu, sungguh kasar engkau! Seorang Junzi bila belum memahami sesuatu tidak lekas-lekas mengeluarkan pendapat.
“Bilamana nama-nama tidak benar, maka pembicaraan tidak sesuai dengan hal yang sesungguhnya, maka segala urusan tak dapat dilakukan baik-baik.
“Bila pekerjaan tak dapat dilakukan baik-baik, Li dan Musik tak dapat berkembang. Bila Li dan Musik tak dapat berkembang, hukumpun tidak dapat dilakukan dengan tepat. Bila hukum tidak dapat dilakukan dengan tepat, maka rakyat akan merasa tiada tempat untuk menaruhkan kaki dan tangannya.
Bagi seorang Junzi, nama itu harus sesuai dengan yang diucapkan dan kata-kata itu harus sesuai dengan perbuatannya. Itulah sebabnya seorang Junzi tidak gampang-gampang mengucapkan kata-kata.” (Lun Yu XIII: 3)
Pangeran King dari negeri Cee bertanya tentang pemerintahan kepada Nabi Kongzi. Nabi Kongzi bersabda, “Pemimpin hendaklah dapat menempatkan diri sebagai pemimpin, pembantu sebagai pembantu, orang tua sebagai orang tua dan anak sebagai anak.”
Pangeran itu berkata, “Shanzai! Sungguh tepat; kalau pemimpin tidak dapat menempatkan diri sebagai pemimpin, pembantu tidak dapat menempatkan diri sebagai pembantu, orang tua tidak sebagai orang tua dan anak tidak sebagai anak, meskipun berkecukupan makanan, dapatkah menikmatinya?” (Lun Yu XII: 11)
Jelaslah dalam agama Ru-Khonghucu semua kalangan perlu dibimbing dengan Kebajikan dan dilengkapi dengan Li, agar nilai-nilai kebajikan dapat menjadi nilai-nilai kehidupan yang mendasari perilaku seluruh masyarakat, Negara bahkan dunia. Dengan dibimbing kebajikan dan Li, maka ketaatan terhadap hukum akan tumbuh subur.
Mengzi dengan tegas menyatakan pentingnya seorang pemimpin mengutamakan Kebajikan, terlihat dari percakapan Mengzi dengan Raja Hwi dari Negeri Liang,
Raja bertanya, “Bapak tidak menghiraukan jarak yang beribu-ribu li datang kemari; adakah ajaran Bapak yang boleh membawa keuntungan bagi negeriku?”
“Mengzi menjawab, “Mengapakah baginda menanyakan keuntungan? Yang kubawakan hanyalah Cinta Kasih dan Kebenaran.”
Bila baginda bertanya, ‘Apakah yang dapat menguntungkan negeriku?; para pembesar akan bertanya, ‘Apakah yang dapat menguntungkan keluargaku?’; dan rakyat jelatapun akan bertanya. ‘Apakah yang dapat menguntungkan diriku?’ Bila yang berkedudukan tinggi maupun rendah hanya berebut keuntungan, niscaya Negara akan di dalam bahaya…” (Meng Zi 1A: 1)
Demikianlah agama Ru-Khonghucu memberi bimbingan perlunya keteladanan yang benar dengan menempatkan yang pokok sebagai pokok dan yang tidak pokok sebagai yang tidak pokok.
Untuk melengkapi tulisan, kami kutipkan pedoman untuk para pemimpin sebagai bahan renungan,“Untuk memimpin dunia, Negara dan rumah tangga, ada sembilan pedoman, yakni membina diri, memuliakan para Bijaksana, mengasihi orang tua, menghormati menteri-menteri besar, bertepasalira kepada menteri-menteri bawahan, mencintai rakyat sebagai mencintai anak sendiri, mengundang beratus macam ahli, merawankan hati orang-orang yang datang dari tempat jauh dan menimbulkan rasa patuh dari para pangeran. (Zhong Yong XIX: 8-12)
Dengan prinsip yang sama, Nabi Kongzi mengajarkan kepada para bawahan untuk, ‘mengabdi kepada pemimpin dengan bersungguh-sungguh di dalam menjalankan tugas dan membelakangkan soal makan.’ (Lun Yu XV: 37)
Nabi bersabda, “Seorang Junzi mengutamakan Jalan Suci, tidak mengutamakan soal makan. Orang bercocok tanam, mungkin juga masih dapat kelaparan, orang belajar mungkin juga mendapatkan kedudukan. Seorang Junzi susah kalau tidak dapat hidup dalam Jalan Suci, tidak susah karena miskin.” (Lun Yu XV: 32)
Dengan mengutamakan upaya membimbing masyarakat di Negara kita dengan kebajikan dan melengkapi dengan Li dan bukan sekedar membimbing dengan hukum dan melengkapi dengan undang-undang, maka dapat diharapkan rasa hormat dan taat hukum akan bertumbuh subur dalam masyarakat Indonesia, tanpa kecuali. Dengan demikian Hukum dan Undang-undang akan berlaku efektif dan mencerminkan keadilan dan kebenaran; dalam Negara kita tercinta yang menganut pembagian kekuasaan berdasar trias politica bukan saja akan banyak dilahirkan hakim-hakim dan penegak hukum yang berani, jujur, membela kebenaran dan keadilan, tetapi hukum yang dibuat juga merupakan hukum yang mengutamakan keadilan dan kebenaran yang berpihak pada kepentingan rakyat, karena para pembuatnya memiliki rasa hormat dan taat pada hukum dan mendasarkan diri pada nilai-nilai kebajikan. Maka trias politica akan akan berjalan dengan baik, karena para anggota legislatif, yudikatif dan eksekutif diisi dengan orang-orang yang berkebajikan, yang taat akan hukum karena harga dirinya sebagai manusia pengemban Firman Tian. Inilah sebetulnya solusi yang diberikan oleh agama Ru-Khonghucu bagi bangsa kita. Segala sesuatu perlu dikembalikan kepada pangkal yang benar agar diperoleh hasil yang diharapkan bersama.
Bagaimana dengan masyarakat yang mencintai tanah air, tetapi tidak mampu atau belum memperoleh kesempatan untuk mengabdikan diri bagi negara, dengan mencontoh-kan dirinya sendiri, Nabi Kongzi mengembalikan pada implementasi kebajikan yang po-kok dalam rumah, Nabi bersabda, “Di Dalam Shu Jing tertulis ‘Berbaktilah! Berbakti dan mengasihi saudara-saudara, ini sudah berarti membantu pemerintah!.’” (LunYu II: 21).
“…Maka seorang Junzi biar tidak keluar rumah, dapat menyempurnakan pendidikan di negaranya. Dengan berbakti kepada ayah bunda, ia turut mengabdi kepada raja; dengan bersikap rendah hati, ia turut mengabdi kepada atasannya; dan dengan bersikap kasih sayang, ia turut mengatur masyarakatnya.” (Da Xue IX: 1)

Kebersamaan dalam Pluralitas
Dalam kacamata agama Ru-Khonghucu, agama – sebagai bimbingan bagi manusia untuk menempuh jalan suci, hidup selaras dengan Firman Tian – terkait erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari keluarga, keluarga adalah bagian dari ma-syarakat dan masyarakat adalah bagian dari kosmos ilahi. Bila manusia menyempurnakan Jalan Suci, diyakini tata masyarakat dengan sendirinya menjadi sempurna, dan dengan demikian manusia memenuhi perannya dalam rencana keseluruhan yang berjalan sesuai dengan Jalan Suci yang terjalin di dalamnya. “Jalan Suci itu tidak jauh dari manusia, kalau jauh dari manusia, itu bukan Jalan Suci.”
Dalam menyikapi pluralitas agama, umat Ru-Khonghucu berpegang pada sabda Nabi, “Bila berlainan Jalan Suci, jangan berdebat.” (Lun Yu 15: 40)
Untuk hidup dalam kebersamaan dalam pluralitas Nabi Kongzi memberikan pe-doman; Zi Zhang bertanya, bagaimanakah layak tingkah lakunya. Nabi bersabda, “Perka-taanmu hendaklah kau pegang dengan satya dan dapat dipercaya; perbuatanmu hendaklah kau perhatikan sungguh-sungguh. Dengan demikian di daerah Man dan Mo pun, tingkah lakumu dapat diterima. Kalau perkataanmu tidak kau pegang dengan satya dan dapat dipercaya, perbuatanmu tidak kau perhatikan sungguh-sungguh, sekalipun di kampung halaman sendiri mungkinkah dapat diterima? Kalau engkau sedang berdiri, hendaklah hal ini kau bayangkan seolah-olah dimukamu, kalau sedang naik kereta bayangkan seolah-olah hal ini nampak di atas gandaran keretamu. Dengan demikian tingkah lakumu dapat diterima.” Zi Zhang lalu mencatat kata-kata itu pada ikat pinggangnya. (Lun Yu XV: 6)
Pluralitas semestinya tidak menimbulkan pertentangan atau permusuhan, tetapi menjadi kekuatan yang saling melengkapi. Nabi bersabda, ”Seorang Junzi dapat rukun walau tak sama, seorang rendah budi dapat sama meski tidak dapat rukun.” (Lun Yu XIII:23)
Dalam hal pluralitas, Nabi Kongzi memberi keteladanan dengan menerima murid-murid yang berasal dari berbagai kalangan dan berbagai suku bangsa, tanpa membeda-bedakan latar belakang. Bahkan untuk mengatur pemerintahan dengan baik, Nabi Kongzi tidak menganjurkan menggunakan satu sistem dari budaya tertentu saja.
Beliau lebih mementingkan kepentingan besar di atas kepentingan kecil. Beliau menganjurkan yang terbaik bagi kepentingan rakyat, Sabda Beliau, ”Pakailah penanggalan Dinasti Xia, gunakan ukuran kereta kerajaan Yin, kenakan topi kebesaran kerajaan Zhou, bersukalah di dalam musik Shao dan Wu.” dan menjauhkan hal-hal yang dapat merusak dan membahayakan ”Jauhkan musik negeri Zheng dan jauhilah orang-orang yang pandai memutar lidah. Musik negeri Zheng itu membangkitkan nafsu. Orang-orang yang pandai memutar lidah itu membahayakan.” (Lun Yu XV: 11)
Pluralitas hanyalah bungkus atas suatu anugerah yang sama, yaitu Watak Sejati. Dengan kesadaran semua manusia, tanpa terkecuali mengemban Watak Sejati, maka da-lam berhubungan dengan sesama terus dipenuhi dengan semangat mengembangkan Watak Sejati, bukan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang ada yang sering kali menjauhkan. Watak Sejati yang menyebabkan manusia saling mendekat, hidup rukun dan saling menghargai.

Semua Manusia Bersaudara
Dalam pandangan agama Ru-Khonghucu, semua manusia, tanpa terkecuali, tidak dibeda-bedakan etnisitas, agama ras, budaya, keturunan, tempat tinggal, telah mendapat- kan anugerah Xing (Watak Sejati), Tian Ming (Firman Tian) berupa benih-benih keba-jikan Ren Yi Li Zhi, Cinta Kasih, Kebenaran, Kesusilaan dan Kebijaksanaan.
Watak Sejati merupakan citra Tuhan YME di dalam diri manusia; Tuhan YME memiliki sifat Yuan Heng Li Zhen manusia memiliki benih kebajikan Ren Yi Li Zhi.
Berdasar Kebajikan Tian, semua manusia dilahirkan sederajat dan tidak ada bangsa atau manusia yang lebih tinggi derajatnya, tidak ada pula bangsa yang terpilih atau bang-sa yang tidak terpilih, semua manusia lahir ke dunia baik adanya.
“Kini guru berkata bahwa Watak Sejati manusia itu baik. Kalau begitu, apakah yang lain salah semua? Mengzi berkata, “Kalau kita mau mengikuti gerak rasa, akan tahulah bahwa sesungguhnya memang baik. Maka kukatakan baik. Kalau ada seseorang yang sampai menjadi tidak baik, kita tidak boleh menimpakan kesalahan pada Watak dasarnya. (Meng Zi VIA: 6)
Pengaruh lingkungan yang kurang baik tidak merubah sifat dasar Watak Sejati tersebut, hanya saja Watak Sejati menjadi tertutup oleh keburukan.
“Yang didalam Watak Sejati seorang Junzi ialah yang tidak bertambah oleh kebe-saran dan tidak rusak oleh kemiskinan; karena dialah takdir yang dikaruniakan (Tuhan YME)” (Meng Zi VIIA: 21.3)
Mengzi berkata, “Pada tahun-tahun makmur, anak-anak dan pemuda kebanyakan berkelakuan baik; tetapi pada tahun-tahun paceklik, anak-anak dan pemuda-pemuda kebanyakan berkelakuan buruk. Ini bukan karena Tuhan YME menurunkan watak dasar yang berlainan, melainkan karena hatinya telah terdesak dan tenggelam di dalam keadaan buruk…” (Meng Zi VIA: 7.1)
Karena kesadaran akan kesetaraan manusia di hadapan Tian, seorang umat Ru-Khonghucu seyogianya senantiasa berpatokan pada Golden Rule, ‘apa yang diri sendiri tiada inginkan jangan diberikan kepada orang lain’, dan senantiasa berusaha menjalan- kan prinsip ‘agar dapat tegak berusaha agar orang lain tegak, agar maju berusaha agar orang lainpun maju’ sebagai wujud cinta kasih kepada sesama manusia.
Dalam menghadapi persoalan dan perbedaan, Seorang umat Ru-Khonghucu berusaha menjauhkan sikap keluh gerutu kehadapan Tian, sesal penyalahan pada sesama manusia dan berkeyakinan di empat penjuru samudera semua manusia bersaudara.
Atas dasar kesadaran dan pengamalan nilai-nilai hakiki inilah menuntun manusia dapat hidup berdampingan dan berinteraksi satu dengan lainnya. “Watak Sejati saling mendekatkan, kebiasaan saling menjauhkan.” (Lun Yu XVII: 2)

Penutup

Akhirnya, marilah bersama-sama kita mulai merajut kembali bangsa kita yang sedang terkoyak ini dengan aksi nyata dan jujur pada diri sendiri, apakah kita telah berbuat sesuai dengan nilai-nilai hakiki agama kita masing-masing? Apakah kita benar-benar mengutamakan kebajikan, kasih ataukah keuntungan? Apakah kita telah bertindak sesuai dengan ‘nama’ dan predikat yang ada pada diri kita? Apakah kita telah menjadi pemimpin yang meneladani? Menjadi pengikut yang menghormati? Apakah kita juga telah ‘tidak melakukan sesuatu yang tidak ingin orang lain lakukan kepada kita’? Apakah kita telah berupaya cukup keras mengaplikasikan nilai-nilai cinta kasih dan kebenaran dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita telah memberi pendidikan nilai-nilai hakiki agama kita kepada anak, keluarga, anak didik dan umat kita di rumah, di sekolah dan dalam tugas pelayanan kita di rumah ibadat dan komunitas kita,? Atau jangan-jangan kita belum cukup keras menuntut diri sendiri dan terlalu keras menuntut orang lain?
Mari kita berinisiatif meninjau ke dalam diri dan lembaga kita masing-masing, mulai hari ini berupaya dengan keras merubah hal-hal yang berpotensi mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita tercinta serta kemanusiaan. Sesungguhnya kita semua bersaudara.

Hanya Kebajikan Tuhan Berkenan, Kita Wajib Memiliki Yang Satu itu: Kebajikan.
Shanzai.

Penulis: Anggota Dewan Pembina Gerakan Pembumian Pancasila
Agamawan Khonghucu