Nasional

Kawal Amanah Presiden RI Putuskan Revisi Undang – Undang Perkawinan di DPR RI

JAKARTA.SJN COM,- Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mendorong agar Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk segera dibicarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI guna mendapatkan persetujuan bersama. Hal tersebut diperkuat dengan dikirimnya Surat Presiden Nomor R-39/Pres/09/2019 tanggal 6 September 2019 hal Rancangan Undang – Undang tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (RUU), Naskah RUU, dan Naskah Akademik RUU kepada DPR RI.Jakarta (9/09)

“Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Desember 2018 terkait pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan perempuan dan Surat Presiden kepada DPR RI perihal revisi Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan putusan progresif dan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak. Dengan adanya Surat Presiden ini, maka mendorong Kemenerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk menyampaikan kepada masyarakat dan khususnya kepada DPR RI agar secepatnya mengesahkan revisi Undang – Undang Perkawinan,” tegas Menteri Yohana pada Konferensi Pers Standing Statement Kemen PPPA terkait Surat Presiden tentang Revisi Undang – Undang Perkawinan di Jakarta.

Dalam surat tersebut, Presiden RI menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Hukuman dan Hak Asasi Manusia untuk bersama – sama maupun sendiri – sendiri untuk mewakili Presiden dalam membahas Rancangan Undang – Undang tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (RUU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Indonesia menempati posisi ke – 2 di ASEAN dan ke – 7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun (11%) menikah pada usia anak. Perkawinan anak pada ujungnya akan menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

“Saat ini, Indonesia berada dalam kondisi Darurat Perkawinan Anak. Perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), stunting, serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (pemiskinan secara struktural). Keseluruhan dampak tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals/SDGs target 5.3,” tutur Menteri Yohana.

Menteri Yohana juga menegskan bahwa Pemerintah sepakat bahwa batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 19 tahun dan mengajak para awak media untuk ikut mendorong agar revisi Undang – Undang Perkawinan segera disahkan.

“Pemerintah secara tegas sepakat dan berharap bahwa revisi Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun karena didasarkan pada Pasal 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengadilan Agama juga akan punya legitimasi dalam menetapkan dispensasi bagi perkawinan. Kami juga mengapresiasi dan mengajak para awak media agar ikut melakukan sosialisasi dan mendorong DPR RI agar segera mengesahkan revisi Undang – Undang Perkawinan menjadi undang – undang,” tutup Menteri Yohana.

Kemen PPPA telah melakukan beberapa upaya demi menekan angka perkawinan anak. Pada 2016-2018, Kemen PPPA bersama 18 Kementerian/Lembaga terkait dan 65 Lembaga Masyarakat menyusun Kebijakan PERPPU yang mendorong usia minimum perkawinan. Kemen PPPA juga menyusun Kebijakan Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan Perkawinan Anak, membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), dan melakukan Gerakan Bersama Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di 11 Provinsi.