Parlementaria

Anwar Yasin : Revisi UU Ketenagakerjaan, Sebuah Kemunduran?

BANDUNG.SJN COM,-Draf Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mulai tersebar di publik. Beberapa poin dinilai sangat merugikan para buruh. Beberapa poin krusial yang sangat merugikan ialah terkait upah pesangon, pembebasan tenaga kerja asing, perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), dan upah minimum yang tidak sesuai SKL (survei kebutuhan hidup).

 

Dalam Pasal 88 ayat (3) Draf Revisi UU No. 13 Tahun 2003, upah pesangon dihapuskan. Hal ini sangat merugikan para buruh dan memberikan peluang kepada pengusaha untuk melakukan PHK tanpa ada beban memberikan upah pesangon. Para pengusaha berargumen bahwa pesangon dinilai tidak adil, karena antara pekerja yang di PHK secara tidak hormat dan yang mengundurkan diri itu sama. Maka, pemerintah harus menemukan alternatif atas berbagai kepentingan ini. Pemerintah seharusnya membuat aturan khusus mengenai uang pesangon bagi pekerja yang di PHK secara tidak hormat, PHK secara hormat dan pekerja yang mengundurkan diri. Hal ini dikatakan oleh Anggota Fraksi PKS DPRD Provinsi Jawa Barat Drs.H.Anwar Yasin Kepada Wartawan di Gedung DPRD Jawa Barat, Jum’at (23/8/2019)

 

 

Lebih jauh Politisi PKS dari Dapil  X (Kota Cirebon-Kabupaten Indramayu-Kabupaten Cirebon) menuturkan Isu yang juga ramai diperbincangkan adalah penghapusan Pasal 46 di dalam Revisi UU Ketenagakerjaan. Pasal 46 mengatur tentang pelarangan tenaga kerja asing menduduki jabatan-jabatan tertentu. Jabatan tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu Yang Dilarang Diduduki Oleh Tenaga Kerja Asing adalah setingkat _Human Resource Development_ (HRD) dan Supervisor. Artinya, tenaga kerja asing dapat mengisi jabatan-jabatan tersebut apabila Pasal 46 dihapuskan dalam Revisi UU Ketenagakerjaan.

 

Poin yang tak kalah krusial nya ialah revisi Pasal 59 tentang PKWT. PKWT diperpanjang batas maksimalnya menjadi 5 tahun. Apabila dalam masa PKWT itu pekerja melanggar tata tertib perusahaan dan/atau perjanjian kerja, maka pekerja dikenakan ganti rugi sebesar upah yang seharusnya diterima sampai dengan berakhirnya PKWT. Implikasinya adalah, pekerja yang dikeluarkan / PHK karena melanggar perjanjian kerja terkena sanksi ganti rugi sebesar sisa waktu masa kerja sesuai perjanjian. Hal ini sangat merugikan pekerja. Saat pekerja di PHK, pekerja juga diwajibkan untuk membayar ganti rugi. Hal ini menyalahi asas keadilan. Pemerintah seharusnya melindungi hak-hak pekerja dan tidak membiarkan para pengusaha melakukan kesewenangan ujarnya.

 

Revisi Pasal 89 tentang upah minimum juga sangat mengkhawatirkan. Poin tentang upah minimum yang diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup yang layak dihapuskan. Artinya, tidak ada standarisasi kelayakan upah minimum berdasarkan survei kebutuhan hidup di setiap daerah. Pun dengan penetapan upah minimum menjadi tidak jelas siapa yang akan berwenang untuk menetapkannya, termasuk mekanisme pelaksanaannya.

 

Kebijakan pemerintah terhadap draf Revisi UU Ketenagakerjaan seharusnya memperhatikan kepentingan para pekerja sebagai supporting system dalam roda perekonomian dan pengusaha sebagai pelaku ekonomi makro dan mikro. Tentunya pemerintah juga harus mengakomodasi kepentingan dari berbagai pihak dan menemukan win-win solution dalam mengeluarkan suatu produk kebijakan agar sesuai apa yang dicitakan oleh UUD 1945 yaitu menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur pungkasnya. (dh)